Ketika ku sapa senja di hadapan
mu, yang memikat hati dengan syahdu dan lirih, membelai nurani. Ku temukan
damai yang berhembus bersama nyiur di pesisir rindu ku. Andai penantian selalu
seindah ini, tak ku penggal kesetiaan ini untuk mu.
Wahai fulan di tepian langit
senja, dapatkah kau dengar bisik rinduku? Dapatkah kau rasakan setiaku? Dalam
diam mencintai dan mengagumi fitrah mu. Tak menuntutmu tuk menyanjung setia ku.
Wahai fulan, barisan doa dan
untaian sapa selalu terucap dari lisanku untuk mu. Jika Tuhan berkenan
mengabulkan pintaku, jika takdirku adalah dirimu. Masihkah kau acuh pada ku?
Aku terpaku menghayalkanmu,
tenggelam dalam imajinasiku, seungguh cinta ini tak dapat dimengerti. Semerbak
mawar memenuhi taman gersang, kau sirami hati ini dengan sesuatu yang tak dapat
ku pahami.
Mungkinkah bagiku tuk selalu
melihat senyummu? Senyum sederhana yang selalu ku tunggu. Wahai fulan, kau tak
perlu mempertanyakan kesetiaan. Aku hanya menyisipkan satu nama untuk menjaga
relung hatiku, ialah kamu.
Bila tiba saatnya takdir
berbicara, bila saatnya kita tak mungkin bersama, aku masihkan tetap setia
menjaganya dalam doa. Cukuplah kini kau dan aku tak saling mengerti apa yang
dibicarakan hati.
Wahai fulan, lihatlah mentari
yang tak selamanya bertahta di langit Timur. Namun bukan berarti ia terus
pergi. Wahai fulan, bukankah bintang tak selamanya terang?
Mere itu ibaratnya setiaku, walau
tak dapat selalu terlihat..namun tetap selalu ada di langit sana .
Entah tuk berapa lama.
Dan ujung senja ini, memikatku
kembali tuk menyapa paras lembutmu yang selalu menghiasi ruang hayalku.
Wahai fulan, untukmu setia ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar